Cologne, Jerman : Aku, Batu, dan Waktu yang Berdarah

Aku melangkah di negeri yang mengunyah sejarah, 

Jerman, tanah di mana doa dan dosa bersetubuh dalam sunyi. 

Cologne menyambutku dengan gereja yang menatap tajam, 

Menaranya mencakar langit, seakan ingin menggugat Tuhan. 


Batu-batu ini pernah basah oleh air mata, 

Oleh perang, oleh cinta yang remuk di altar. 

Aku berjalan di atas jejak ribuan kaki, 

Mereka yang pernah berharap, berkhianat, 

Mereka yang jatuh cinta pada negeri yang mencintai penderitaan. 


Langit kelabu bukan sekadar awan, 

Ia adalah bayang-bayang luka yang tak pernah sembuh. 

Jerman adalah simfoni yang dimainkan perang dan filsuf, 

Bach yang menangis di gereja-gereja sekarat, 

Nietzsche yang tertawa di atas iman yang retak. 


Aku di sini, mantel merahku berkibar seperti bendera perang, 

Di antara turis yang lupa bahwa tanah ini pernah menangis darah. 

Aku bukan pendosa, bukan nabi, bukan pujangga, 

Hanya seorang pejalan dengan jiwa yang haus akan cerita. 


Cologne, engkau bukan sekadar kota, 

Engkau adalah puisi yang dibangun dari tulang-belulang, 

Dari doa yang tak terkabul, dari cinta yang dimakamkan tanpa nisan. 

Dan aku? Aku hanya angin yang lewat, 

Mencuri sepotong keabadian, sebelum kembali menjadi fana.

Komentar

Postingan Populer