Paris, Gaun Hijau, dan Kegilaan yang Tersirat

 


Pagi di Paris bukan sekadar pagi, 

Ia adalah opera yang dimainkan angin, 

Di panggung batu yang basah oleh sejarah, 

Di bawah Menara yang tak pernah menunduk. 


Aku berjalan, tidak, aku melayang, 

Gaun hijauku bukan kain, tapi badai, 

Membelah jalanan yang sibuk bernafas, 

Mengoyak logika pagi yang terlalu sopan. 


Orang-orang berlari mengejar sehat, 

Aku berlari mengejar absurditas, 

Karena Paris bukan hanya kota, 

Ia adalah labirin kegilaan yang manis. 


Menara Eiffel berdiri kokoh, katanya melambangkan perdamaian, 

Tapi lihatlah betapa ia menikam langit, 

Menusuk awan dengan keangkuhan baja, 

Apakah itu tanda persahabatan atau dominasi? 


Sungai Seine mengalir, berbisik, 

Membawa rahasia yang tak bisa diceritakan, 

Tentang cinta yang karam, 

Tentang janji yang hanyut sebelum sempat diucapkan. 


Dan aku, aku adalah skandal pagi itu, 

Mata-mata mencuri pandang, 

Bukan pada keindahan, tapi pada tantangan, 

Karena gaunku menari lebih liar dari arus sungai. 


Dingin? Apa itu dingin? 

Dingin hanyalah mitos yang diciptakan oleh yang takut, 

Takut untuk merasa, takut untuk menggila, 

Dan aku, aku tak takut apa-apa pagi itu. 


Paris tersirat, bukan terlihat. 

Paris berbisik, bukan berteriak. 

Paris adalah kekacauan yang disusun dengan rapi, 

Seperti aku pagi itu, berjalan di antara garis tipis 

Antara anggun dan pemberontakan.

Komentar

Postingan Populer