Tersesat di Tol Paris: Sebuah Simfoni Kegilaan
Paris, musim dingin yang kejam,
Angin seperti pisau, menusuk tanpa ampun.
Tapi apa yang lebih dingin dari cuaca?
Kenyataan bahwa kami tersesat, terlantar, hilang!Rest area di tengah tol, kami tertawa,
Lasagna hangat, sepotong kue, dunia terasa ringan.
Lalu kami keluar, dan
Mobil kami lenyap seperti ilusi murahan.
Kaget. Bingung. Otak kosong.
Kami hanyalah titik-titik kecil di atas peta,
Tak ada Uber, tak ada taksi,
Hanya truk-truk besar yang tak peduli.
Kami bertanya, bertanya, bertanya lagi,
Kami bertanya, bertanya, bertanya lagi,
Pada pria Rusia yang hanya mengangkat bahu,
Pada supir truk yang sangat acuh,
Pada orang Paris yang lebih peduli pada kopinya.
Paris memang begitu,
Bukan kota yang menawarkan tangan terbuka,
Melainkan peta labirin,
Yang hanya bisa dilewati oleh mereka yang tak menyerah.
Aku masih menggenggam hotdogku,
Dingin, tapi tetap setia di tanganku,
Seperti kesabaran yang kian menipis.
Kami harus keluar dari sini, cepat, sebelum hari gelap.
Dua kandidat muncul, dua mobil, dua nasib.
Seorang pria tua di Mercy hitam,
Dan pria Middle Eastern dengan mobil sederhana.
Aku memilih yang kedua, bukan karena prasangka,
Tapi karena Paris membiarkan siapa saja menyimpan senjata.
Aku berbicara selembut mungkin,
Menawarkan kisah yang cukup tragis untuk mengundang simpati.
Dia mencoba memesan Uber untuk kami, nihil.
Maka aku minta lebih: “Bolehkah kami menumpang?”
Lima orang. Mobil kecil. Peraturan ketat.
Aku bahkan rela masuk bagasi,
Tapi dia menolak, karena akan membayar denda lebih mahal tentunya
Sepanjang jalan kami berdoa tidak bertemu polisi.
Kami berdesakan, mobil melaju,
Kecepatan mengiris jalanan Paris.
Di setiap lampu merah, kami menahan napas,
Takut suara sirene memecah keberuntungan kami.
Jantung kami berdetak lebih cepat dari roda yang berputar,
Tapi satu jam kemudian, lampu-lampu Paris menyambut,
Seperti tangan yang dingin tapi tetap menyentuh.
Kami selamat. Kami ada di kota.
Dan dia, pria yang kini jadi pahlawan,
Menunggu sampai Uber kami tiba.
Paris boleh saja keras,
Tapi dunia masih punya orang baik.
Di tengah tol yang sepi dan mencekam,
Di antara ribuan orang yang tak peduli,
Kadang, harapan datang dari wajah asing,
Meyakinkan kami bahwa dunia masih punya orang baik.
Paris mungkin tak ramah,
Tapi di antara gedung dan jalan yang keras,
Masih ada tangan yang terulur,
Dan itulah yang membuat perjalanan ini tetap hangat.
Komentar
Posting Komentar