Musim Dingin di Eropa
Aku berjalan pelan di lorong waktu,
Di antara bangunan tua yang diam membisu.
Pagi itu aku tak tahu ke mana arah tuju,
Atau mungkin, aku memang tak perlu tahu.
Salju melukis jalanan dengan tinta putih,
Dingin menggigit seperti rindu yang tak letih.
Aku dan mereka, kami tertawa,
Menertawakan absurditas hidup yang fana.
Kita pikir, segelas coklat panas bisa menyelamatkan dunia,
Atau setidaknya, menyelamatkan tangan yang mulai membeku.
Maka kita duduk di sebuah kafe pinggir kota,
Meletakkan beban, mengunyah waktu yang melambat seketika.
Di luar sana, orang-orang bergegas,
Tas belanja mereka lebih berat dari beban di dada.
Branded, mahal, bergengsi, atau hanya ilusi?
Mungkin mereka tak membeli barang,
Mungkin mereka membeli validasi.
Tapi siapa peduli?
Hidup memang tidak adil, kata mereka yang merasa kalah.
Hidup memang indah, kata mereka yang duduk di tahta.
Keduanya benar, keduanya salah,
Karena dunia hanyalah akrobat tanpa jaring di bawahnya.
Dan aku, aku hanya penonton yang tersesat,
Membiarkan dingin Eropa menjilat kulitku,
Membiarkan absurditas ini mengalir ke dalam puisiku,
Sampai aku lupa bahwa aku juga bagian dari ilusi itu.
Komentar
Posting Komentar