Perempuan Tangguh

Saya perempuan, yang sedang merasakan gejolak dilema luar biasa tentang bagaimana menjadi perempuan yang bukan saja sekedar perempuan. Tapi perempuan yang bebas dalam berpikir dan tetap dalam pelukan erat estetika budaya. Orang bilang pendidikanku tinggi, orang bilang suatu saat aku akan sukses, orang bilang aku adalah pengacara feminist. Tapi cukuplah dengan apa yang orang bilang. Saat menulis ini aku sedang terjebak macet di lampu merah, membuang waktu sia-sia karna konsekuensi tinggal di kota. Untungnya aku selalu punya cara untuk membunuh rasa bosan yang kerap menggerogotiku, misalnya di tengah kemacetan ini tiba-tiba aku teringat akan kamus kecil bikinanku yang isinya adalah semua kata-kata indah yang pernah aku temui sepanjang hidup. Aku mendapati kata ke-170 yaitu 'patriarki'. Patriarki adalah budaya kita, selain patriarki sebenarnya kita juga mengenal matriarki yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Tetapi di Indonesia sendiri mayoritas menggunakan budaya patriarki. Patriarki adalah sebuah ajaran dimana menempatkan derajat laki-laki diatas perempuan baik secara keluarga, keturunan, moral, hak-hak sosial, bahkan ekonomi dan politik. Baiklah, lampu sudah hijau saatnya fokus kembali dengan jalanan. Selasa pagi ini aku mengunjungi Rutan Kelas I Surabaya.

 

Begitu sampai di area Rutan Kelas I Surabaya langsung terasa aura kesedihan suasana rutan, seakan banyak teriakan-teriakan terpendam dari tempat tersebut. Rutan yang memiliki kapasitas 500 orang telah menampung 2.649 tahanan menurut data tahun 2019. Rutan ini menampung melebihi kapasitas yang seharusnya hingga kadang para tahanan harus tidur dengan cara berdiri. Tembok rutan-pun yang menjadi saksi bisu seakan ikut meneriakkan jerit tangis dan cerita kesedihan penghuni yang ada disana. Ayah yang jauh dari anak-anaknya, dari istrinya, dari keluarganya, dan dari kerabatnya. Ibu yang harus berjuang melawan hukum demi berkumpul kembali dengan keluarganya, dengan anaknya yang masih kecil yang sedang kedinginan mendambakan pelukan sang ibu. Atau seorang yang selalu sendirian di tengah orang asing yang semuanya bermasalah dengan hukum yang selalu mengancamnya jika dia tidak memberikan apa yang mereka mau dan kapan saja bisa dengan mudah memukulinya. Orang yang selalu hidup dalam ketakutan, dalam penyesalan, dalam kesendirian karna sudah tidak memiliki satupun yang peduli dengannya. Orang yang selalu berpikir hidupnya sudah tidak ada gunanya lagi. Tempat yang penuh sesak dengan kesedihan.

 

Di dalam rutan aku bertemu seorang ibu yang kedua matanya selalu basah dengan air mata. Seorang ibu berumur sekitar 50 tahun dengan jilbab abu-abu yang lusuh. Namanya Teh Is dari Bandung. Rupanya Teh Is sedang menjenguk anaknya yang terkena kasus hukum. Teh Is bercerita padaku, meluapkan segala rasa sedihnya yang bertahun ia simpan sendiri. Cerita itu seakan menarik aku ke pusaran kesedihan hidupnya. 10 tahun yang lalu Teh Is berangkat menjadi TKW ke Arab Saudi mengikuti suami yang setahun lebih dahulu telah berangkat. Teh Is dan suami meninggalkan ketiga anaknya di Bandung demi harapan hidup yang lebih baik. Setiap bulan Teh Is dan suami selalu menyisihkan sebagian uangnya untuk dikirim ke Indonesia agar ketiga anaknya bisa melanjutkan kuliah dan mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Mereka akan melakukan apa saja demi kelangsungan hidup anak-anaknya. Menjadi TKI di Arab Saudi ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan sebelumnya, tekanan dari majikan, perbedaan budaya dan cuaca yang ekstrem menjadi sedikit dari banyaknya masalah yang ada. Tapi tidak ada jalan kembali selain kuat menatap ke depan.

 

Tidak terasa sudah berjalan 10 tahun Teh Is dan suami menjadi TKI di Arab Saudi. Suatu ketika Teh Is mengajak sang suami untuk ibadah Umroh. Karna tempat mereka bekerja tidak jauh dari Makkah mereka sering melakukan ibadah Umroh bersama. Lalu keduanya memutari Ka’bah sambil bergandengan dan mendoakan anak-anak yang telah ditinggalkan bertahun-tahun di Indonesia agar tetap baik-baik saja. Tidak lama setelah Umroh sang suami sakit seperti demam, batuk, dan pilek. Semakin hari penyakitnya semakin parah hingga sempat batuk darah. Pada akhirnya Teh Is memutuskan untuk melakukan tes darah. Dari situ diketahui bahwa penyakit yang diderita oleh suami Teh Is bukanlah demam biasa melainkan virus Middle East Respiratory Syndrome atau MERS. Penyakit ini disebabkan oleh coronavirus yang menyebabkan batuk pilek dan infeksi pernafasan akut (ISPA). Penyakit MERS yang diderita suami Teh Is telah mengalami komplikasi hingga menyerang paru-paru. Dua minggu setelah di vonis dokter dengan penyakit MERS, suami Teh Is tidak sanggup bertahan dan dinyatakan meninggal dunia.

 

Masih dalam suasana berkabung, 3 hari setelah memakamkan suaminya di tanah Arab Teh Is didatangi oleh Petugas Imigrasi Arab Saudi yang mendengar bahwa visa Teh Is untuk masuk negara tersebut adalah ilegal. Dengan terpaksa Teh Is harus di deportasi dari Negara Arab yang telah menjadi rumahnya selama 10 tahun. Teh Is harus pulang ke Tanah Air dan kembali bertemu anak-anaknya. Sesampainya di Tanah Air Teh Is mendapat kejutan ujian hidup lagi yaitu anaknya yang paling kecil tengah terlibat masalah hukum.

 

Teh Is dan putrinya telah berpisah sejak 10 tahun yang lalu, saat putrinya masih berumur 15 tahun. Putri kecil Teh Is kini telah menjadi wanita dewasa yang mandiri, dia telah mampu menyelesaikan kuliahnya di Surabaya dan kini bekerja di salah satu perusahaan di kota yang sama. Putri kecil Teh Is didakwa dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan uang perusahaan. Teh Is yang masih belum bisa menyembunyikan raut sedihnya yang baru saja kehilangan suami dan di deportasi harus menelan fakta pahit bahwa anaknya akan di penjara. Entah kesalahan apa yang telah dilakukan di masa lalu oleh Teh Is hingga bertubi-tubi cobaan yang harus dialaminya. Pagi itu hari Rabu, Teh Is yang berada di Bandung menelpon anaknya dan bersedia menyiapkan uang berapapun agar dia terbebas dari masalah hukum tersebut, bahkan Teh Is rela untuk menjual satu ginjalnya asal anaknya terbebas dari segala tuntutan. Tapi segala upaya sepertinya sia-sia jika takdir telah menentukan kehendaknya. Perusahaan tempatnya bekerja telah memutuskan bahwa proses hukum harus berjalan sebagaimana mestinya alasannya karna hal ini akan menjadi cerminan bagi karyawan yang lain.

 

Saat ini, tembok Rutan Kelas I Surabaya telah menemaninya selama hampir satu tahun lamanya. Di dalam rutan setiap malam dia hanya memikirkan seandainya dia tidak melakukan tindakan itu. Anaknya bercerita tentang kerasnya hidup di penjara, tentang bagaimana rasa nasi di dalam penjara, tentang bagaimana perlakuan sesama narapidana, tentang kegiatan yang dilakukan selama di penjara. Dia sudah tidak kuat lagi di dalam rutan tapi dia harus bertahan karena beberapa bulan lagi dia telah bebas. Teh Is selalu menyiapkan tenaga dan waktu untuk datang ke rutan menjenguk anaknya. Setiap 3 hari sekali Teh Is datang jauh-jauh dari Bandung ke Surabaya hanya untuk melihat wajah anaknya. Apakah anaknya masih kuat merasakan kesedihan hidup di rutan ? Apakah anaknya sanggup menerima ancaman dari teman sekamarnya di rutan ? Apakah anaknya dapat perlakuan yang layak di rutan ?

 

Seorang ibu yang tidak pernah mengenal putus asa dan selalu tahu bagaimana cara menunjukkan kasih sayangnya. Teh Is biasanya menggunakan kereta Mutiara Selatan dari Bandung ke Surabaya dan sebaliknya. Dari stasiun Gubeng Teh Is berjalan sekitar 100 meter untuk mencari bus ke Terminal Bungurasih, dari sana Teh Is melanjutkan perjalanan dengan angkot. Panasnya kota Surabaya bukan lagi jadi masalah dan banyaknya tas yang memeluk punggung rapuhnya juga bukan menjadi halangan baginya. Dia tetap harus bertemu dengan putrinya. Mendoakan putrinya supaya cepat bebas dan berkumpul kembali. Teh Is, satu nama yang mengajarkan aku untuk tetap kuat menjalani hidup. Satu nama yang mengingatkan aku untuk tetap berjuang. Pejuang tidak butuh dikuatkan, pejuang justru menguatkan yang lain yang butuh bantuan. Teh Is tidak sadar telah menjadi pahlawanku karna perbuatannya.

 

Semoga jiwanya tetap tegar dengan segala masalah di pundaknya. Semoga sujud malamnya semakin gentar di atas sajadah dinginnya. Semoga doa selalu mengudara memeluk orang-orang terkasihnya. Semoga kebahagiaan selalu setia menunggunya selesai berperang. Semoga semua kesabarannya tidak pernah berujung kecewa dan nestapa. "Anak saya itu seumuran non, mirip seperti non. Kapan ya saya bisa kumpul lagi." kata Teh Is sembari memegang tangan kananku dengan matanya yang masih basah. Lalu aku mengantarnya pulang. Lewat doa kita selalu berkomunikasi dengan baik, saling mendoakan satu sama lain dalam tahajud.

 

Perempuan-perempuan seperti ini tidak boleh berjuang sendirian. Segala perjuangannya harus di dukung bahkan dirayakan. Perempuan yang berjuang bukan hanya Teh Is saja, jutaan perempuan berhak saling merangkul dan menguatkan satu sama lainnya. Agar perjuangan yang dilakukan secara bersama-sama menimbulkan hasil yang maksimal. Terima kasih Teh Is atas apa yang telah dilakukan, terima kasih telah berjuang demi anak perempuanmu. Dalam kehidupan modern rasanya kurang tepat jika menggunakan ide patriarki atau matriarki. Tapi lebih kepada equality, dimana siapa yang siap bertarung dialah yang siap maju ke medan perang. Tapi untuk merubah paradigma tentu bukanlah perkara mudah, diperlukan toleransi dan pemahaman yang intens terhadap anekdot-anekdot positif tentang equality. Karna setiap individu memiliki porsi hak dan kewajiban yang setara. Dengan begitu dunia akan semakin kompetitif dan semua akan sibuk menyiapkan diri untuk pantas ikut bertarung ke medan perang. Pada akhirnya daya saing yang tinggi akan mengantarkan kita pada suatu perubahan kemajuan yang akan dirasakan secara merata.

Komentar

Postingan Populer